Mengintip Sejarah Sinarmas, Kerajaan Bisnis Milik Konglomerat Eka Tjipta Widjaja
Siapa yang tak kenal dengan Sinar Mas? Salah satu perusahaan raksasa di Indonesia yang memiliki 6 operasi bisnis di sektor pulp dan kertas, agribisnis dan pangan, layanan keuangan, pengembang dan real estate, telekomunikasi, serta sektor energi dan infrastruktur.
Sinar Mas didirikan Eka Tjipta Widjaja, seorang konglomerat sukses dengan harta kekayaan USD13,9 miliar atau sekitar Rp198,77 triliun versi Globe Asia 2018. Bagaimana awal mula Sinar Mas berkembang dan mulai mengepakkan sayap di Tanah Air, termasuk sepak terjang pendirinya? Berikut ulasannya seperti dirangkum dari berbagai sumber.
Baca Juga: 25 Kata-kata Inspirasi dari Orang Terkaya Dunia
Bingung Cari Produk Kredit Tanpa Agunan Terbaik? Cermati punya solusinya!
Perjalanan Bisnis Sinar Mas
Perjalanan Bisnis Sinar Mas
Tepat pada tahun 1968, Sinar Mas mendirikan penyulingan minyak nabati dan kopra pertama. Bisnis tersebut berkembang pesat, sehingga perusahaan mendirikan pabrik bernama Bitung Manado Oil Limited di Sulawesi Utara.
Selanjutnya ekspansi dimulai. Sinar Mas mengakusisi pabrik soda kimia atau yang dulu dikenal dengan Tjiwi Kimia pada tahun 1972. Kemudian pabrik tersebut berubah nama menjadi pabrik kertas Sinar Mas. Di tahun tersebut, pilar bisnis lain dari Sinar Mas muncul, yakni di bisnis properti (pengembang dan real estate) yang diberi nama PT Duta Pertiwi Tbk.
Menapaki tahun 1982, Sinar Mas merambah bisnis di bidang layanan keuangan dengan mendirikan PT Internas Artha Leasing dan menjadi salah satu perusahaan keuangan yang terintegrasi. Tak berhenti sampai di situ, Sinar Mas Forestry mendirikan salah satu untuk menjalankan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) di tahun 1986.
Pasalnya beberapa lini bisnis yang dijalankan Sinar Mas disebut-sebut memiliki banyak sekali dampak lingkungan jangka panjang. Beberapa tahun berselang, Sinar Mas kembali mendirikan perusahaan, PT Dian Swastatika Sentosa pada tahun 1996.
Perusahaan yang bergerak dibidang energi untuk menyediakan pasokan listrik di wilayah pedalaman yang terdapat fasilitas produksi Sinar Mas. Kemudian di tahun 2006, menggeluti bidang telekomunikasi dengan mendirikan perusahaan Smartfren. Operator telekomunikasi hasil dari merger atau penggabungan dengan provider Fren.
Perjuangan Sang Pendiri yang Cuma Lulusan SD
Nama dan bisnis Sinar Mas yang menggurita merupakan buah dari kerja keras, perjuangan, dan tangan dingin Eka Tjipta Widjaja. Pemilik nama asli Oei Ek-Tjhong lahir di Quanzhou, Fujian, China dari keluarga miskin. Meski begitu, pria kelahiran 27 Februari 1921 tersebut tak patah arang. Ia berusaha mengubah takdir hidup dengan mulai merantau ke Indonesia pada usia belia, 9 tahun.
Di Tanah Air, Eka kecil tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada tahun 1932. Awalnya, ia membantu sang ayah yang lebih dulu berada di Kota Daeng. Berjualan di sebuah toko kecil untuk mencari nafkah. Sebagai perantauan, Eka bukan hanya harus bergulat mencari rezeki, tapi juga kewajiban melunasi utang sebesar USD150 kepada rentenir yang ia gunakan untuk ongkos ke Indonesia.
Mengenang lebih jauh Eka, pria yang sudah tutup usia pada 26 Januari 2019 itu, hanyalah lulusan SD. Maklum buat makan saja susah, apalagi untuk biaya sekolah. Ia rela mengorbankan pendidikan demi membantu orangtua berdagang dan membayar utang.
Pantang menyerah, Eka menjemput bola atau memasarkan sendiri barang dagangan yang dijual di toko ayahnya, seperti permen, biskuit, dan barang dagangan lain dari rumah ke rumah. Itu semua dilakukan guna membantu roda perekonomian keluarga. Berkat ketekunan, keuletan, dan kerja keras, ia mampu mendulang pundi-pundi uang dari hasil berdagang.
Menginjak usia 15 tahun, Eka kian matang dalam berbisnis. Ia mampu meraup keuntungan sebesar Rp20 dari barang yang dijualnya. Tentu saja pada masanya, punya uang 20 perak sudah cukup besar, karena harga beras saja waktu itu cuma 3-4 perak per kilogram (kg). Usaha lancar, duit terkumpul, Eka kemudian membeli sebuah becak.
Bisnisnya berjalan mulus, hingga masa penjajahan Jepang, Eka membuka bisnis baru. Bisnis skala lumayan besar dengan menjual tepung terigu. Harga beli Rp50 per karung, dijual Rp60 per karung, sampai akhirnya seharga Rp150 per karung. Bukan hanya bahan pangan, bahan bangunan seperti semen pun ia jual dari harga beli Rp20, dijual Rp40 per karung.
Segala bisnis dijajal. Kali ini jadi kontraktor kuburan, selanjutnya mulai jualan kopra. Untuk bisa mendapatkan harga kopra yang murah, ia rela berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulawesi) hingga mendatangi sentra kopra di Indonesia. Mencari kopra dengan harga murah dan menjualnya dengan harga relatif tinggi, sehingga mendapat keuntungan.
Baca Juga: Kata-Kata Bijak yang Keren Banget agar Hidupmu Penuh Motivasi
Terganjal Masalah
View this post on Instagram
Berhasil menjalankan usaha kopra, Eka sempat terganjal beberapa masalah. Itu terjadi karena pihak Jepang kala itu mengeluarkan peraturan yang banyak merugikan warga pribumi, serta pengusaha lantaran bisnis minyak kelapa dikuasai Mitsubishi. Perusahaan asal Jepang itu membeli minyak kelapa dengan harga Rp1,8 per kaleng, atau jauh lebih rendah dari harga di pasaran Rp6 per kaleng.
Bukan Eka namanya kalau menyerah. Jualan kopra merugi, nyambi berdagang tengteng, makanan manis khas Makassar yang terbuat dari gula merah, kacang tanah, wijen, dan kembang gula. Sayangnya usaha tersebut gagal, rugi, dan terpaksa berutang supaya dapur tetap ngepul. Jalan lain yang harus ditempul menjual mobil, dan perhiasan keluarga demi menutup utang tersebut.
Tepatnya pada tahun 1980, bisnis kopra kembali menanjak. Saat itu, Eka memutuskan membeli sebidang kebun sawit. Luas lahan 10 ribu hektare (ha) di Riau. Kemudian membeli seperangkat mesin untuk mengolah minyak kelapa sawit. Selanjutnya membuka pabrik dan berhasil memproduksi 60 ribu ton minyak kelapa sawit.
Selain berbisnis kelapa sawit, pada tahun 1981, Eka membeli perkebunan hingga pabrik teh seluas 1.000 ha. Pabrik teh tersebut sanggup memproduksi sebanyak 2.000 ton teh setiap bulan. Tak puas bergulat di sektor agrobisnis, Eka melebarkan sayap dengan merambah bisnis perbankan.
Membeli Bank sebagai Langkah Ekspansi
Gebrakan fenonemal yang dilakukan Eka adalah mengakuisisi Bank Internasional Indonesia (BII) pada tahun 1982. Dari saat itu Rp13 miliar, berkat tangan dingin Eka, aset BII mencapai Rp9,2 triliun. Tak puas, Eka membangun kerajaan bisnis lain, yakni membeli perusahaan pulp dan kertas, PT Indah Kiat. Perusahaan ini mampu memproduksi kertas hingga 700 ribu pulp dan 650 ribu kertas per tahun.
Di tahun berikutnya, masuk ke bisnis properti. Di bidang pengembang dan real estate, perusahaan di bawah bendera Sinar Mas telah membangun ITC Mangga Dua, Apartemen Green View di Roxy, Ambassador di daerah Kuningan, serta proyek properti prestisius lain di Jakarta.
Hingga saat ini, Sinar Mas telah 6 pilar usaha. Beberapa perusahaan di bawah bendera Sinar Mas telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan besarnya bisnis yang dijalankan Sinar Mas, Eka rutin masuk salah satu orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes maupun Globe Asia. Di tahun 2018, Forbes mencatat harta kekayaan Eka Tjipta Widjaja mencapai USD8,6 miliar atau sekitar Rp122,98 triliun (kurs Rp14.300). Sedangkan versi Globe Asia merilis USD13,9 miliar atau Rp198,77 triliun.
Keterbatasan Uang Bukan Penghalang untuk Sukses
Terlahir dari keluarga miskin atau hidup kekurangan sehingga mengorbankan pendidikan bukan alasan untuk kita menjadi orang sukses. Dengan tekad kuat, kemauan untuk belajar, kerja keras, dan pantang menyerah, Anda dapat meraih mimpi. Jika Anda memutuskan untuk merintis bisnis, semangat jangan kendur meski dihantam badai yang membuat jatuh bangun. Ingat, kesuksesan bukan ditunggu, tapi dikejar.
Baca Juga: Egy Maulana Vikri, Si Jago Gocek dari Kampung yang Direkrut Klub Polandia